AL-VHEGA

Kamis, 10 Mei 2012

Menukar warna pada imej dengan perisian Adobe Photoshop

Menukar warna pada imej dengan perisian Adobe Photoshop

Mula sekali kita kena buka imej yang hendak ditukar warna
Dari menu File pilih Open
Atau double klik kat ruang kosong ditengah paparan untuk open.
Pada my document pilih folder my pictures dan klik pada waterlilies

Pada tool bar pilih Rectangular Marquee Tool
tukar warna
 

kemudian buat selection ,klik dan seret pada bunga yang terdapat dalam gambar.
buat selection pada imej


kemudian klik pada menu image >adjusments>replace colour

replace color


Pada bahagian atas terdapat tiga eyedropper gunakan yang bertanda +.
kemudian klik pada selection(gambar bunga) hingga bunga tadi kelihatan bertukar jadi warna putih.
jika terlebih atau tersasar guna eyedropper yang bertanda -,dan kemudian yang bertanda +
Pada bahagian bawah terdapat Replacement dan slider Hue,saturation dan lightness
laraskan slider tersebut untuk menukar warna.

Hue-untuk warna
Saturation-kepekatan warna
Lightness -untuk kecerahan
kemudian klik ok dan tekan butang CTRL + D untuk deselect
Hasil nya:
tukar warna imej



Artikel lain yang diminati

BUYA BUSTHOMI


BUYA BUSTHOMI

KH. AHMAD BUSTHOMI
(BUYA CISANTRI)




           








Oleh:
Imaduddin Utsman


Nama lengkap beliau adalah Ahmad Bushtomi bin Ahmad Jasuta. Beliau adalah pendiri dan pengasuh pesantren salafiyah Al-hidayah Cisantri, Cipeucang, Pandeglang Banten.
            Istiqomah dalam kesantrian dan keulamaan adalah kata yang bisa diungkapakan untuk menggambarkan kiayi yang kharismatik ini. Waktunya habis untuk mengajar para santri dan beribadah kepada Allah Swt. Santri dan masyarakat sekitarnya memanggilnya Buya Busthomi. Panggilan Buya adalah panggilan untuk kiayi yang telah melampaui derajat tertentu dalam ilmu dan makrifat.
            Kezuhudan dan wara adalah prinsip hidup yang dipegangya erat-erat. Ketegasan dan keberanian adalah sifat yang menonjol dari Buya Bushtomi. Di samping memang ilmu kedikjayaannya telah banyak yang membuktikan.
Dihikayatkan ketika awal-awal Buya mendirikan pesantren banyak mendapatkan tantangan dari berbagai kelompok masyarakat. Bahkan ada yang bermaksud mengusir beliau. Puluhan orangpun telah mengepung rumah beliau dengan berbagai macam senjata tajam. Beliau bukan malah takut, beliau mencabut pohon yang cukup besar yang ada di sekitar rumahnya. Kelompok pengepung itupun gentar dan mengurungkan niyat jahat mereka.
Beberapa kali Buya berurusan dengan pihak kepolisian karena membela santrinya yang menghadapi masalah. Bahkan Buya pernah dipenjara karena hal tersebut. Dihikayatkan pada awal tahun sembilanpuluhan ada santrinya yang dipukuli kondektur sebuah mobil bus. Kemudian puluhan santri mencegat Bus itu sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan seorang kondektur terluka akibat bacokan santri. Akhirnya pihak managemen bus itupun melaporkan santri Al-hidayah ke pihak kepolisian. Sebagai pengasuh pesantren Buya Bustomi bertanggung jawab atas apa yang dilakukan santri-santrinya itu. Buya pun ditahan di kantor kepolisian.
Ketika proses hokum itu berjalan, perusahaan bus itu mengalami kerugian besar. Banyak penumpang yang enggan menaiki bus itu karena takut kewalat kepada Buya Bustomi. Dan memang banyak bus dari perusahaan itu yang mengalami berbagai macam kecelakaan. Mungkin itu adzab tuhan bagi orang-orang yang sombong kepada para ulama. Wallahu a’lam bi al shawwab.
Pada era Suharto berkuasa, Buya Bushtomi berada di luar pagar Suharto. Beliau mendukung partai berlambang ka’bah sebaga di partai yang berazaz Islam. Selain sebagai kecintaannya kepada Islam, dukungannya ke P3 adalah sebagai lambang perlawanannya kepada Suharto.  
Dihikayatkan, ketika masa kampanye P3 tiba, hari itu seluruh SPBU tidak ada bensin. Mungkin suatu kesengajaan agar kampanye P3 tidak semarak. Panitia pun bingung, padahal kemarin ketika kampanye Golkar, SPBU seluruhnya tidak kekurangan bensin. Akhirnya Buya Bushtomi, memerintahkan para peserta kampanye yang membawa kendaraan untuk mengambil air sawah untuk dijadikan bahan bakar. Awalnya banyak yang tidak yakin, namun akhirnya keyakinan kepada Allah melalui orang yang di cintai-Nya membuat para peserta menurut perintah Buya. dan subhanallah, hari itu seluruh kendaraan dapat berjalan sampai selesai kampanye hanya berbahan bakar air sawah yang di-jampi Buya Bushtomi. Wallahu a’lam.
Selain berani beliau juga adalah ulama yang sederhana, santun dan tawaddu. Penulis pernah bersilaturrahmi dengan beliau di rumahnya yang dari luar nampak cukup bagus tapi ketika sampai di dalam sungguh sangat sederhana. Hanya ada alas tak ada bangku mewah. Dan sebuah almari yang berisi kitab-kitab. Kesan galak yang selama ini penulis dengar, tidak nampak ketika berhadapan dengan beliau yang begitu santun menghadapi tamu-tamunya, termasuk penulis. Penulis juga nyantri kepada Buya pada bulan ramadlan untuk mengkaji kitab tafsir Marah labid atau yang lebih dikenal dengan tafsir munir karangan Syekh nawawi al-Bantani, ulama monumental asal Tanara Banten.

Rabu, 09 Mei 2012

BUYA DIMYATI


BUYA DIMYATI

KH. MUHAMMAD DIMYATI
(BUYA DIMYATI CIDAHU)















Oleh:
Imaduddin Utsman



            Beliau bernama lengkap Muhammad Dimyathi bin Muhammad Amin. Ibunya bernama Hj. Ruqayyah. Lahir di pandeglang 27 Syaban 1347 H bertepatan dengan tahun 1920. Nasabnya bersambung kepada Nabi Muhammad Saw melaui  Maulana Hasanuddin Sulthan Banten pertama.
            Sejak kecil mendapat bimbingan sang ayah dalam mempelajari ajaran Islam. Kemudian Ia berkelana dalam dunia ilmu pengetahuan islam ke berbagai pesantren di tanah jawa. Mulai dari pesantren yang berada di Cadasari, kadu Pesing,  pandeglang, Pelamunan, Plered cirebon, Purwakarta, Kaliwungu, Jogja, Watucongol, Bendo Pare dsb.
            Guru-guru beliau di antaranya adalah Abuya Abdulhalim Kadupesing, Buya Muqri abdul hamid, Mama Ahmad Bakri Sempur, Mbah Dalhar Watucongol,  Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baedlowi lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu. Kebanyakan guru-guru tersebut wafat tak lama setelah abuya berguru. Mungkin ini menunjukan bahwa Abuya mewarisi seluruh keilmuan dan keberkahan mereka rahimahumullah.
            Banyak kisah-kisah menakjubkan ketika beliau nyantri. Ketika mondok di watu congol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada para santri, besok akan datang ‘kitab banyak’. Ini mungkin adalah sebuah isyarat akan datangnya seorang yang telah mumpuni akan ilmu pengetahuan tetapi masih haus akan menuntut ilmu. Setelah berada di pesantren Mbah Dalhar  selama 40 hari abuya tak pernah di Tanya dan disapa. Setelah 40 hari baru Mbah Dalhar memanggil, sampeyan mau apa jauh-jauh ke sini. Saya mau mondok Mbah. Perlu  kamu ketahui di sini gak ada ilmu, ilmu itu ada di sampeyan. Kamu pulang aja syarahi kitab kitab mbahmu. Saya tetap mau ngaji aja disini mbah. Kalau begitu kamu harus Bantu ngajar dan gak boleh punya teman.

Ketika hendak mengaji ke Mbah Baidlowi Lasem beliau disuruh pulang. Tapi Abuya tetap bertekad menjadi santri Mbah Baedlowi sampai akhirnya Mbah Baidlowipun menerimanya. Ketika abuya bermaksud berijazah tareqat syadziliyah kepad Mbah baedlowi beliau  menyuruhnya beristikharah. Dengan tawaddu’ Mbah baedlawi merasa tidak pantas mengijazahkan tariqat kepada Abuya. kemudian setelah istikharah dan menurut istikharah itu bahwa Mbah baedlawi adalah mursyid yang sudah nihayah dalam tariqat dan tasawwuf , barulah Mbah Baedlowi mengijajahinya.

 Di pondok Bendo pare abuya dikenal dengan Mbah Dim Banten, nama ini di laqobkan dengan asal Abuya yang berasal dari daerah Banten. Dan di pesantren inilah Abuya diyakini oleh para santri sebagai sulthonul awliya. Wallahu a’lam.

            Murid-murid beliau menyebar dari berbagai peloksok negeri. Mungkin jumlahnya jutaan bila setiap orang yang pernah mendapatkan pengalaman batin yang berharga dengan beliau di anggap sebagai murid walau ia hanya bersowan beberapa kali. Atau pernah mengaji sekali atau dua kali di majlis beliau. Karena banyak para tamu yang berniat hanya memohon do’a kemudian tertarik ingin mengikuti pengajian beliau walau hanya sekali. Kiayi-kiayi sepuh wilayah Banten umumnya mengikuti pengajian beliau setiap malam selasa yang dilaksanakan tengah malam. Belum murid-murid yang berijazah hizib nashar dan tariqah Sadziliyah yang jumlahnya sangat banyak.
Di antara murid-murid beliau adalah  Ki Mufassir Padarincang, Abah ucup Caringin, Habib hasan bin Ja’far Asseqaf pengasuh majlis ta’lim nurul musthofa, Jakarta dan tentunya putra-putra Abuya seperti KH. Murtadlo dan KH. Muhtadi.. 
            Abuya bagi masyarakat Islam laksana oase di tengah kehidupan yang kering dari nilai-nilai. Beliaulah lambang keterusterangan di tengah kegemaran berbasa basi. Beliaulah lambang kiayi yang istiqomah di tengah maraknya kiayi yang terpesona kehidupan duniawi. Karakternya begitu kuat. Wibawanya tak tertandingi Presiden RI. Hidupnya begitu sederhana. Ia hanya tinggal di sebuah gubuk lusuh yang terbuat dari bambu dan seng saja. Majlisnya tak berlistrik. Wajahnya begitu manis. Marahnya adalah cinta. Lirikannya adalah berkah. Sentuhannya adalah nikmat agung. Do’anya mustajab. Diamnya adalah berfikir dan berdzikir. Siapa orang yang pernah berjumpa dengannya pasti akan mendapat kesan berharga dalam kehidupannya. Kita termasuk orang-orang yang beruntung hidup sezaman dengannya. Apalagi sampai dapat bertemu dengannya.
            Penulis adalah salah seorang yang beruntung itu. Walau penulis tidak nyantri kepada Buya. Penulis tahun 1994 nyantri di Mama Sanja Kadukaweng. Selama itu penulis belum pernah bersilaturahmi kepada Buya. baru ketika penulis nyantri di Abah Hasuri, di Kaloran Serang, adik seperguruan Buya ketika di Kadupesing, penulis sering berziarah kepada beliau. Penulis mengikuti marhaban bersama beliau di malam jum’at. Mengikuti pengajian malam selasa bersama beliau. Waktu itu di antara kitab yang dibaca adalah uqudul juman.  Alhamdulillah penulis begitu beruntung ketika santri yang lain sibuk mencoret kitab, penulis tak menghiraukan pelajaran karena sibuk memandang sebuah keagungan dari wajah Buya. yang begitu khusyu membaca dan menerangkan kitab, dan pada suatu ketika mata indah itu memandangi penulis dengan mesra dan cinta. Allahuma zid syarafah.
            Pada tahun 1999, penulis menikah. Tak lama isteri penulis hamil. Kebetulan isteri penulis sedang berobat jalan ke dokter karena sebuah penyakit. Menurut dokter obat yang harus diminum ini harus rutin diminum sampai beberapa bulan. Dan obat ini bertentangan dengan kehamilan. Artinya bila terus meminum obat ini, kehamilan harus ditunda, kalau tidak anak anda akan menjadi cacat. Waktu itu dokter memberitahu penulis tanpa diketahui oleh isteri. Penulis bingung. Umur kandungan sudah dua bulan lebih, alangkah berdosanya dan yang paling mengganjal adalah, penulis adalah seorang santri yang diajarkan nilai-nilai kepasrahan dan keyakinan kepada Tuhan oleh para kiayi. Masa iya penulis tinggalkan keyakinan kepada Tuhan dengan dugaan dari sang dokter. Akhirnya penulis memutuskan untuk meminta do’a kepada Buya. Malam jum’at itu penulis berangkat dari Serang menuju Cidahu. Penulis berharap sampai di pesantren Buya sebelum tengah malam agar dapat bermarhaban dengan beliau. Alhamdulillah akhirnya penulis dapat bermarhaban bersama santri dan Buya. setelah marhaban, sekitar jam tiga penulis keluar bersama santri dari majlis Buya. dipintu majlis telah menunggu  pembagi kue selimpo. Setiap habis marhaban santri dapat pembagian kue khas Banten itu. Penulis menunggu waktu subuh di kamar santri. Kebetulan cucu Yai Sanwani Sampang, guru penulis di pesantren Sampang mesantren di pesantren Buya. Kami menunggu subuh di kamar tingkat yang sempit yang hanya bisa untuk seorang. Kami berdesakan.
            Ketika tong-tong berbunyi dari majlis Buya, seluruh santri bergegas ke majlis buya untuk berjamaah solat subuh. Indah terasa solat di belakang Buya. sepertinya malaikat-malaikat ruhaniyyin hanya memperhatikan Kami. Khusyu dan syahdu. Ketika jamaah selesai seluruh santri keluar dari majlis. Penulis sendirian diam terpaku memandang Buya membaca wiridannya. Kaki kanannya kadang di angkat ke atas paha kirinya. Lama juga Buya membaca wirid dan berdo’a. Penulis muali ragu, apakah penulis salah waktu ingin bertemu Buya. apakah nanti Buya tidak marah penulis menunggu di belakangnya seperti ini. Ada niat dalam hati penulis untuk keluar dari majlis buya. namun tiba-tiba seekor kucing masuk ke majlis buya kemudian berdepa didekat penulis, seakan dia bermaksud menemani penulis berhadapan dengan Buya. penulis mengurungkan niyat untuk keluar dari majlis. Sekarang sudah ada teman. Rasa haibah dan takut masih melekat tapi tidak sedahsyat sebelum ada teman kucing baik ini.
            Derigen air sudah penulis kendurkan agar bila Buya selesai wirid, penulis langsung memohon didoakan. Do’a untuk isteri dan kandungannya. Buya berdehem masih menghadap kiblat. Kepalanya yang dibalut serban sepertinya agak menengok ke samping sedikit, agaknya buya ingin tahu siapa orang yang menunggunya  ini. Matanya melirik penulis dan kucing baik yang berdepa dekat penulis. Kemudian beliau meneruskan wiridnya. Kembali khusyu menghadap kiblat. Walau sudah ada teman kucing baik penulis mulai ragu lagi, apakah lirikannya tadi bermaksud menyuruh penulis keluar. Penulis bingung. Dalam kebingungan akhirnya Buya bangkit dari sajadah dan berbalik kemudian berkata : “ti mana iyeu? Walaupun penulis berbahasa jawa, penulis faham arti bahasa sunda itu, yang artinya : dari mana ini? Penulis langsung berkata  sambil mendekatinya dan menyodorkan derigen air : ti serang, Buya, abdi nyuhunkeun do’a, artinya dari Serang Buya saya memohon do’a. tak ada kalimat lain yang mampu penulis katakana kepada Buya. kalimat memohon do’a untuk isteri dan kandungannya pun  tak sanggup penulis ungkapkan. Haibah dan wiqar beliau begitu agung dan dahsyat.
            Setelah itu Buya mendekatkan mulutnya ke derigen air itu, beliau meludahinya. Kemudian penulis pamit bermaksud mencium tangan beliau untuk kedua kali. Beliau menariknya, seakan tak mau salaman lagi. Penulis agak maras, dalam hati penulis mungkin Buya marah karena wiridannya penulis ganggu. Penulis keluar dari majlis. Penulis kira Buya sudah ke dalam kamar kecilnya. Ketika penulis sampai pintu dan berbalik untuk mengenakan sandal, ternyata Buya masih memandangi penulis. Mata indah itupun beradu dengan mata penulis. Begitu agung. Ketika penulis hendak melangkah pergi, penulis melihat Buya mendekati pintu, penulis faham bahwa Buya akan menutup pintu majlisnya. Dengan segera penulis menutup pintu majlis itu, dan dari sela-sela pintu tertutup, penulis melihat senyum bibir buya mengembang. Alhamdulillah, allahumma zid syarafah.
            Air yang telah didoakan Buya itu langsung penulis bawa ke rumah. Isteri penulis langsung meminumnya. Penulis menganjurkan obat dari dokter itu gak usah diminum lagi. Dan alhamdulillah, anak penulis lahir dengan normal dan selamat serta penyakit isteri penulis itupun sembuh. Semua itu atas idzin Allah Swt. Dengan berkah wasilah do’a Buya Cidahu.
            Karangan Abuya Dimyati di antaranya minhajul ishtifa menguraikan tenang hizb nashar dan hijib ikhfa. Dikarang pada bulan rajab 1379/1959. juga kitab ashlul qadr tentang khushushiyat sahabat pada perang badr. Juga kitab bahjatul qolaaid, nadzam tijanuddarari, dan alhadiyyat  aljalaliyah tentang tareqat syadziliyah.
           
            Manusia mulia yang sulit dicari penggantinya ini wafat malam jum’at jam 03:oo WIB tanggal 07 sya’ban 1423 H. bertepatan dengan 03 oktober 2003 setelah bermarhaban baru selesai. Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah irji’ii ilaa rabbiki raadliyatam mardliyyah fadkhulii fii ibaadii wadkhulii jannatii.

Waalahu a’lam bi al shawwab….

Syekh Astari Cakung (Seri Sejarah : Kiyai Banten)


Syekh Astari Cakung (Seri Sejarah : Kiyai Banten)

SEJARAH  WALIYULLAH
SYEKH ASTARI CAKUNG





DIRUMUSKAN OLEH:
KH. MAUJUD ASTARI

Penulis
H. IMADUDDIN UTSMAN, SA.g. MA.
Hudan linnas press
2011
Diterbitkan Oleh :
PONDOK PESANTREN NAHDLATUL ULUM





Judul: Sejarah Waliyullah syekh astari cakung
Perumus dan Penanggung jawab isi: KH. Maujud bin Astari
Penulis: H. Imaduddin utsman, S.Ag. MA
Penyunting: H. soleh
                     M. Doni Andeske
                        Jaja Palis
                        Mahfudz junaidi
                        H. Ali ridlo
                        Omang paridan
                        Rasyidi Tapa
                        Muhyiddin
                        Khaeruddin Mushahir
                        Samudin SP
Komisaris: H. Zuhdi abdurrouf
Penerbit: Hudan linnas Press
Cetakan: pertama 2011






HUDAN LINNAS PRESS
JL RAYA KRESEK, CEPLAK SUKAMULYA
2011



Kata Pengantar

            Sejak Islam masuk ke daerah Banten, Cakung adalah suatu daerah yang sangat kental dengan tradisi kesantrian. Bahkan diperkirakan Cakung telah mengenal Islam sebelum Maulana hasanuddin menyebarkan Islam di Banten.
Di Cakung terdapat para ulama-ulama yang mumpuni dalam berbagai disiplin keilmuan seperti Ki Syarif atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Ayip cakung, Ki Maderan, Ki jahari, Ki Muhammad Ali dll.
            Syekh nawawi Tanara Al Bantani, dititipkan ayahnya yaitu Ki Umar bin arobi sebelum mesantren di Makkah al mukarromah kepada Ki syarif cakung.
            Pada awal abad duapuluh hiduplah seorang ulama besar yang masyhur dengan derajat kewalian yang bernama Syekh astari bin Maulana Ishaq. Beliau pada mulanya mengasuh sebuah pesantren di Cakung, kemudian setelah kemerdekaan beliau dipilih tuhan untuk Fana fillah (lebur bersama Tuhan).
            Buku ini hanya menyajikan sebagian kecil dari sejarah kehidupannya yang pebuh hikmah dan keindahan. Mudah-mudahan di suatu saat akan bermunculan lagi buku-buku sejenis yang akan menyajikan kisah hidupnya secara utuh.
            Akhirnya penulis memohon tegur sapa dari para pembaca untuk kesempurnaan cetakan berikutnya.

Ponpes Nahdlatul Ulum cempaka Kresek, Dzul qo’dah 1432 H
Penulis
H. Imaduddin utsman, S. Ag. MA.










DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….
Nama, silsilah keluarga dan Kelahiran…………………………………………………
Orang tua Syekh Astari…………………………………………………………………
Pengembaraan ilmiyah syekh astari………………………………………………….
Santri Sanga di satu Pesantren………………………………………………………
Bertapa di Goa umbul………………………………………………………………..
Kisah Pertaruangan Biawak dan Ular Besar………………………………………
Kisah Pertapaan Syekh Nawawi Mandaya……………………………………….
Syekh Nawawi bikin pesantren…………………………………………………….
Syekh astari dan Syekh Mustaya…………………………………………………
Sembilan Sahabat berpisah………………………………………………………
Kehausan ilmu
Semangat syekh astari untuk kemerdekaan Indonesia……….
Lebur Bersama Tuhan……………………………………………………………
Keluarga syekh astari………………………………………………………………….
Riwayat-riwayat  tentang syekh astari………………………………………………….
Ilmu laduni Syekh astari……………………………………………………………
Uang Baru syekh astari………………………………………………………………
Wafatnya syekh Astari………………………………………………………………..








NAMA, SILSILAH KELUARGA DAN KELAHIRAN
            Beliau bernama lengkap Syekh Astari bin Maulana Ishaq bin Muhammad Rafiuddin bin Nyi Hadisah binti Ki Alim bin Ki Bulus (Abdul Gani) bin Syekh Hasan Bashri bin Ki Mahmud bin Raden Saleh bin Sulthan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir bin Sultan Maulana Muhammad Nashruddin (Kanjeng Ratu Banten surosowan) bin Maulana Yusuf bin Maulana Hasanuddin.
            Dalam silsilah di atas ada seorang perempuan yang bernama Nyi Hadisah yang terselip dalam silisilah para ayah. Hal ini dikarenakan sosok Nyi Hadisah yang dalam tradisi lisan masyarakat cakung sangat di mulyakan. Ia adalah seorang perempuan yang diyakini sebagai Waliyatullah yang sampai sekarang tidak diketahui apakah sudah wafat atau belum. Tapi seseorang yang diberi penglihatan batin menyebutkan bahwa petilasan Nyi Hadisah berada di depan Masjid Syekh Hasan Bashri.Di hikayatkan bahwa Nyi Hadisah adalah perempuan wari’ah yang menghabiskan hari-harinya untuk beribadah dan mengabdi di masjid Syekh Hasan basri, masjid yang diberi  nama dengan nama buyutnya yaitu Syekh Hasan Basri.
            Syekh Astari juga merupakan cucu dari Syekh Ciliwulung melalui ibu dari Syekh Hasan Bashri  yaitu Nyi Fatimah binti syekh ciliwulung.
            Syekh Astari dilahirkan di kampung Cakung Kedung, sekarang kampung kedung masuk wilayah kecamatan Gunung Kaler. Tepatnya Kampung Cakung Kedung Ds. Kandawati Kecamatan Gunung kaler (Pemekaran Kecamatan kresek) Kabupaten Tangerang-Banten. Tidak ada yang mengetahui tahun berapa tepatnya Syekh Astari di lahirkan. Tetapi ketika kita menghitung umur syekh Astari yang ketika wafat pada tahun 1987 berusia 99 tahun, maka kita bisa mengurut angka tahun 1888 sebagai tahun kelahiran beliau berarti beliau dilahirkan kira-kira lima tahun setelah meletusnya gunung Krakatau pada tahun 1883. Dan berbarengan dengan terjadinya perang geger cilegon yang melibatkan para petani dan ulama Banten utara melawan pemerintahan colonial Belanda. Juga berarti beliau dilahirkan ketika Syekh Nawawi al-Bantani masih hidup di Makkah Al mukarromah. Syekh Nawawi al bantani wafat Sembilan  tahun setelah angka kelahiran Syekh Astari Cakung, tepatnya pada tahun 1897.

ORANG TUA SYEKH ASTARI
            Syekh Astari berasal dari keluarga yang sangat kuat memegang tradisi kesantrian. Ayahnya, Maulana Ishaq, walaupun seorang pedagang adalah seorang yang taat menjalankan nilai-nilai agama. Di tengah kesibukannya berdagang, ia juga mengajar ngaji kepada para anak-anak di kampungnya. Kedermawanan adalah sifatnya yang sangat menonjol. Berdagang, mungkin, hanya dijadikan sebagai suatu media bagaimana ia dapat berbuat sesuatu untuk orang lain. Dikisahkan setiap datang dari pasar ia selalu membawa berbagai oleh-oleh. Dan oleh-oleh yang ia bawa bukan hanya untuk keluarganya di rumah, tapi juga untuk para tetangga. Iapun rajin mendatangi rumah-rumah tetangga dan menanyakan apakah para tetangga itu mempunyai beras atau tidak.
            Akhlak para sahabat seperti Umar bin Khatab dan Sayyidina Ali Zainal Abidin bin sayyidina husein ra., seperti di atas yang dimiliki Maulana Ishaq kemudian diwarisi oleh putranya yaitu Syekh Astari Cakung yang akan dijelaskan kemudian.
            Syekh Astari mempunyai ibu bernama Nyi Ratu Nasiah. Sama seperti suaminya ia juga berdagang pakaian, ragi dan boreh. Boreh adalah sejenis bedak yang terbuat dari tepung beras dan rempah-rempah yang sangat masyhur dipakai oleh para gadis dan ibu-ibu di Banten untuk mempercantik diri dan Nampak awet muda. Sifat suaminya yang dermawan juga dimiliki oleh Nyi Ratu nasiah. Ia juga dikenal begitu dermawan.

PENGEMBARAAN ILMIYAH SYEKH ASTARI CAKUNG
            Selain kepada ayahnya maulana Ishaq, Syekh Astari kecil mula-mula belajar ngaji di kampungnya kepada Ki Muhammad Zen, seorang ulama yang juga mempunyai garis keturunan kepada Syekh ciliwulung. Kalau Syekh astari mempunyai garis keturunan kepada Syekh Ciliwulung melalui anak perempuannya yang bernama Nyai Ratu Fatimah,ibu Syekh Hasan Basri,  maka Ki Muhammad Zein melalui anak laki-laki Syekh Ciliwulung yang bernama Ki Cinding. Memang Syekh Ciliwulung kemudian mempunyai banyak keturunan yang menjadi para kiayi khususnya di wilayah Kresek, Binuang dan Gunung Kaler dan umumnya di Banten Utara. Di daerah Tanara, Tirtayasa dan Carenang banyak para ulama yang juga mempunyai garis keturunan kepada Syekh Ciliwulung melalui putra Syekh Ciliwulung yang bernama Ki Sauddin.
            Kita bisa menyebutkan beberapa contoh para kiayi yang mempunyai garis keturunan kepada Syekh Ciliwulung. Ki Adung seorang kiayi dari laban Tirtayasa adalah seorang kiayi yang memiliki garis keturunan kepada syekh Ciliwulung melalui Ki Sauddin. Begitu juga Kiayi soleh dan kiayi Fathoni Lempuyang. Ki Syafei bin Makiyya dari Kebon Jeruk memiliki garis keturunan kepada syekh Ciliwulung melalui Ki Cinding. Ki Amran Bugel juga keturunan Syekh Ciliwulung melalui Nyi Ratu Fatimah. Sedangkan di Kresek Abuya Amin koper bersambung silsilahnya melalui Nyai Ratu Fatimah. KH. Mufti bin Asnawi seorang ahli fiqh dari Cakung srewu memiliki garis keturunan kepada Syekh ciliwulung melalui Ki Syueb.  Syekh Asnawi Caringin melaui ibunya juga keturunan Sekh Ciliwulung dari Ki Cinding. KH. Makmun, Ki Busyra dan Ki Salim yang kesemuanya anak Ki Muhammad zen Cakung guru Syekh Astari memiliki garis silsilah kepada Syekh Ciliwulung melalui Ki Cinding. Dan masih banyak kiayi yang masih hidup yang memiliki garis keturunan dengan syekh Ciliwulung.
            Garis nasab para ulama Banten Utara bisa dikatakan didominasi oleh dua garis silsilah yaitu garis silsilah Pangeran Sunyararas tajul arsy Tanara dan syekh Ciliwulung Cakung. Dari garis Pangeran Sunyararas tajul arsy, kita bisa menyebutkan beberapa ulama seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Umar Rancalang, SYekh Nawawi Mandaya dan syekh Abdul Karim yang merupakan khalifah toriqoh Al Qodiriyah wa al Naqsyabandiyah.
            Kembali kepada pembahasan masa belajar Syekh Astari.
            Dikisahkan Syekh Astari kecil ketika mulai mengaji kepada Ki Muhammad zen selalu datang sebelum teman-temannya datang dan pulang setelah semuanya pulang. Walaupun datang pertama kali, syekh astari tidak langsung mengaji tapi dia menyimak pengajian teman-temannya satu persatu. Ia membuka halaman al Qur’annya teman. Inilah yang membuat Syekh Astari sekali mengaji dapat berpuluh kali lipat pelajaran daripada teman-temannya dalam semalam.
            Suatu ketika Ki Muhammad zen ketiduran  ketika Syekh astari sedang mengaji karena Syekh Astari mengaji terakhir dan waktu sudah larut. Walaupun mengetahui gurunya tertidur Syekh Astari tetap terus membaca al Qur’an. Karena murid hanya boleh berhenti mengaji apabila gurunya memerintahkan berhenti. Rupanya karena lelah Ki Muhammad zen tidur cukup lama. Walaupun syekh Astari merasa lelah karena terus membaca al Qur’an ia tetap tak mau berhenti sampai gurunya bangun dan menyuruhnya berhenti. Ketika Ki Muhammad Zen terbangun alangkah kagumnya ia kepada Syekh Astari ketika mendapatinya masih terus mengaji di hadapannya. Ki Muhammad yakin suatu saat nanti Syekh Astari kecil akan menjadi ulama besar yang akan menjadi tumpuan umat.
            Setelah menganjak remaja, syekh Astari diserahkan orang tuanya untuk mesantren kepada syekh Jaliman di Bunar-Pematang.

SANTRI SANGA DI SATU PESANTREN
            Ketika mesantren di pesantren Bunar asuhan Syekh Jaliman, Syekh Astari satu qurun bersama delapan orang sahabat yang kemudian kesembilan orang ini menjadi para ulama besar. Mereka adalah Syekh Nawawi mandaya, Syekh umar rancalang, Syekh Ardani Dangdeur, Syekh Balqi Paridan, Syekh Hamid Banten Girang, Syekh Sadeli Bogeg, syekh Jamhari (kemudian dijadikan menantu syekh Jaliman), Syekh Mustaya Binuang dan Syekh astari sendiri. Selain delapan teman itu syekh Astari juga sequrun dengan Ki Kharis Cisimut.
            Syekh Nawawi Mandaya berusia paling dewasa dibanding dengan delapan sahabat lainnya. Perbedaan umur antara Sekh Nawawi mandaya dan Syekh astari sekitar tigabelas tahun. Hal ini dapat disimpulkan karena pada saat ayah Syekh nawawi Mandaya yang bernama Syekh Muhammad Ali (pengarang kitab Murad Awamil) di buang ke Digul-Papua Barat atau irian Jaya pada tahun 1888 karena terlibat pemberontakan pada perang Geger cilegon, syekh Nawawi Mandaya sudah berumur duabelas tahun.
            Perang Geger Cilegon walaupun terjadi di cilegon tetapi lebih banyak melibatkan para ulama di daerah Banten Utara bagian timur seperti Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Asnawi Bendung, Ki Marzuki, Syekh Muhammad Ali Mandaya, Ki Arsyad towil (kemudian wafat di manado) dll. Ketika Syekh Muhammad Ali yang dibuang ke Digul bersama isteri dan anaknya (Syekh Nawawi mandaya) pulang dari digul dengan perahu layar. Terjadi sesuatu yang mengharuskan mereka menepi ke timur Kupang. Akhirnya Syekh Muhammad Ali memutuskan untuk menyebarkan agama di Timur Kupang dan menetap di sana sampai wafatnya. Sedangkan isteri dan anaknya kembali pulang ke Banten dan menetap di Mandaya.

BERTAPA DI GOA UMBUL
            Di dekat pesantren yang diasuh syekh Jaliman di Pematang terdapat sebuah goa yang bernama Goa Umbul. Menurut kepercayaan masyarakat dahulu ketika sedang berkelana Maulana hasanuddin, sultan Banten yang pertama, pernah bertafakur di goa tersebut.
            Menurut penuturan syekh Jamhari, dulu waktu sama-sama nyantri dengan Syekh Astari di Pesantren Bunar, ia melihat Syekh Astari memasuki Goa umbul, ia perhatikan sudah satu hari syekh Astari tidak keluar goa. Kemudian ia membawa makanan kedalam goa. Ia mendapati syekh astari sedang duduk dengan khusyu. Ia meninggalkan makanan itu di hadapan syekh Astari. Lalu keesokannya lagi syekh Jamhari kembali membawa makanan ke dalam goa. Namun ia mendapati makanan yang kemarin dibawanya masih utuh. Tahulah ia bahwa syekh astari sedang berpuasa wishal. Lalu ia membawa makanan yang dibawanya kemarin dan meletakan makanan  yang baru di hadapan Syekh astari. Mungkin saja makanan yang baru ini akan dimakan. Keesokannya lagi, Syekh jamhari mendatangi kembali Syekh Astari ke dalam goa umbul. Ia mendapatinya tetap duduk penuh khusyu. Kembali ia melihat makanan yang dibawanya kemarin masih utuh. Namun ia tetap meletakan makanan yang baru di hadapan Syekh Astari yang masih khusyu duduk tanpa sepatah kata.
            Syekh jamhari tidak bosan membawa makanan untuk syekh astari selama satu jum’at. Setelah tujuh hari didapatinya Syekh Astari tak memakan makanan secuilpun, barulah ia tahu bahwa mungkin Syekh Astari sudah berniat bertapa di goa umbul ini untuk waktu yang lama. Kemudian untuk hari-hari selanjutnya ia tak membawa makanan untuk Syekh Astari, ia hanya sesekali menengoknya untuk memastikan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Setelah beberapa lama waktu berjalan syekh Astari keluar dari Goa Umbul. Syekh jamhari yang selalu menghitung hari pertapaan Syekh astari mengatakan  bahwa Syekh astari berada dalam Goa Umbul itu selama empatpuluh hari empatpuluh malam. Sama seperti dulu Sultan Banten yang pertama Maulana hasanuddin bertapa di sana.
            Masih menurut penuturan syekh jamhari, bahwa pertapaan Syekh Astari di dalam goa Umbul bukan hanya sekali saja, tapi beberapa kali yang kesemuanya konsisten selama empatpuluh hari empatpuluh malam.

KISAH PERTARUNGAN BIAWAK DAN ULAR DI GOA UMBUL
            Goa Umbul selain dikenal sebagai tempat pertapaan Maulana Hasanuddin, juga sangat mashur dengan kisah pertarungan Sembilan biawak besar penunggu goa Umbul melawan ular besar yang mnyerang goa. Ukuran besarnya  ular itu kira-kira sepohon kelapa sedangkan panjangnya memanjang cukup panjang. Bahkan beberapa kepercayaan menyebutkan kepala ular itu berada di depan mulut goa sedangkan ekornya masih ada di Merak-Cilegon.
            Peristiwa pertarungan antara biawak besar penunggu goa dengan ular besar itu terjadi beberapa hari sebelum peristiwa pemberontakan G30S/PKI. Karena yang bertarung adalah makhluk-makhluk besar maka menimbulkan suara kegaduhan yang cukup menarik perhatian warga.
            Pertarungan itu berlangsung kira-kira selama limabelas hari mulai dari ba’da ashar sampai maghrib datang. Anehnya ular itu datang dan pergi dari satu jalan. Artinya ia pulang dari bekas jalan yang dilaluinya ketika datang sehingga tidak merusak pohon padi yang lain selain yang ia lalui ketika pertama datang. Peristiwa itu terjadi secara dzahir dapat disaksikan oleh siapapun yang hadir. Anak-anak, remaja, orang dewasa, laki-laki dan perempuan dapat menyaksikan peristiwa itu. Suara menggelegar bagai petir kadangkala terdengar dari benturan akibat pertarungan. Tiga biawak menjaga pintu goa. Sedangkan enam lainnya bertarung menghadapi ular. Apabila di antara enam biawak ini ada yang terluka, maka salah satu dari tiga penjaga pintu goa ini maju ke depan. Sedangkan yang terluka ini kemudian memasuki goa untuk minum dan menyelam dalam air yang terdapat dalam goa.
            Anehnya setelah meminum dan menyelam dalam air yang terdapat dalam goa luka-luka biawak ini segera sembuh. Kemudian setelah sembuh ia bergantian menjaga goa dan apa bila ada yang terluka dari enam biawak yang bertarung maka salah satu di antara tiga penjaga goa itu maju ke depan dan terus demikian. Sampai akhirnya ular besar itu kalah dalam pertarungan.
            Menurut keyakinan sebagian orang, kekalahan ular itu menjadi isyarat akan kekalahan PKI yang berusaha memberontak terhadap pemerintah Republik Indonesia. Walaupun PKI telah berhasil membunuh tujuh jenderal tapi secara umum pemberontakanya gagal. Jika ular itu sampai bisa masuk dan menduduki goa niscaya PKI akan menguasai Indonesia.
            KH. Maujud Astari yang mendengar cerita itu dari Syekh Jamhari mulanya hanya menganggap kisah biawak itu hanya sebuah cerita. Tetapi ketika ia berkunjung ke goa  Umbul pada tahun 2007 beserta jamaah majlis Dzikir Al-Hudro perumahan Korem Serang dengan dua mobil dan diiringi motor pada hari jum’at jam 11 siang, ternyata memang biawak itu ada di depan mulut goa. Jumlah biawak yang dapat dilihat H. maujud dan rombongan berjumlah 5 biawak. Di antara 5 biawak itu ada yang berwarna putih. Kebetulan H. Maujud membawa Handycam dan kamera seraya ia memotret biawak tersebut namun aneh biawak tersebut tidak kena di foto begitu pula dengan handycam.
            Menurut cerita KH. Maujud, kemudian ia berdo’a: “Ya Allah perkenankanlah Saya masuk ke dalam goa ini, karena saya ingin berdo’a untuk Negara Indonesia agar seluruh rakyatnya betul-betul menikmati kemerdekaan dalam kemakmuran.” Akhirnya ia diberi ilham untuk masuk melalui atas goa. Ia pun menaiki bebatuan di atas goa untuk menghindari biawak yang menunggu mulut goa. Setelah sampai atas goa ia melihat sebuah lobang yang menuju ke dalam goa. Aneh, walaupun lobang ini cukup besar tapi rerontokan daunpun nampaknya tidak bisa masuk ke dalam goa. Sepertinya goa ini ditunggu makhluk gaib yang senantiasa menjaga kebersihan goa.
            Kemudian KH Maujud datang kembali ke goa Umbul bersama jamaah majlis dzikir Bunut di antaranya H. bauti, Mahfudz dan H. Mansur. Kembali KH. Maujud dan jamaah dapat melihat biawak-biawak itu. Pak Adam Malik, salah seorang wakil presiden pak harto, beliau pernah membawa biawak-biawak ini beserta kotoran kelalawar sekitar goa dalam karung-karung untuk pupuk. Namun setelah sampai tujuan yang tersisa hanya karung-karungnya saja, sedangkan biawak dan kotoran kelalawar itu hilang.

KISAH PERTAPAAN SYEKH NAWAWI MANDAYA
                        Syekh Astari seperti dikisahkan di atas, ketika mesantren di Syekh Jaliman berbarengan dengan delapan santri yang kelak mereka menjadi para ulama besar. Di antara mereka adalah Syekh Nawawi bin Muhammad Ali Mandaya. Usia Syekh Nawawi bisa dikatakan paling dewasa. Suatu ketika Syekh Jaliman memerintahkan Syekh Nawawi untuk membantu mengajar ngaji kepada para santri karena memang Syekh Nawawi sejak kecil telah mendapat bimbingan langsung dari ayahandanya yaitu Syekh Muhammad Ali. Bahkan dikisahkan ketika mesantren di Syekh Jaliman Syekh Nawawi telah hafal kitab-kitab nadzam dan matan. Ketika pulang dari Digul pada usia duabelas tahun bersama ibunya, Syekh Nawawi telah hafal kitab Murad awamil karangan ayahnya. Maka tak heran kalau banyak orang yang mengira bahwa kitab tersebut karangan Syekh Nawawi.
            Ketika mendapat perintah gurunya untuk mengajar para santri Syekh Nawawi bingung, bukan tidak mampu tapi apakah ia pantas, itu fikirnya. Maka ia kemudian memohon kepada teman-teman sekobongnya untuk sementara ia dibiarkan sendiri di dalam kamar. Kebetulan beliau satu kobong dengan 8 sahabat yang disebutkan di atas.
            Ternyata Syekh Nawawi tidak pernah keluar dari kobong dalam waktu yang cukup lama. Kemudian hal itu di laporkan kepada Syekh Jaliman, dan menurut syekh Jaliman para teman-temannya jangan mengganggu Nawawi, biarkan saja ia dalam kobong sampai keluar dengan sendirinya. Setelah ditunggu-tunggu akhirnya Syekh Nawawi keluar dari kobong setelah genap empat puluh hari ampatpuluh malam. Setelah itu Syekh jaliman mempersiapkan kenduri atau selametan untuk Syekh Nawawi karena bahagia mempunyai murid seperti Syekh nawawi dan sebagai takriman wa ta’dziman kepada ayahnya seorang ulama pejuang yang rela meninggalkan Nagari Banten yang di cintainya demi tugas dakwah di negeri yang jauh di ujung Barat Nusantara.
            Setelah tahannus selama empatpuluh hari empatpuluh malam itulah akhirnya Syekh Nawawi mau membantu mengajar para adik-adik santrinya.

SYEKH NAWAWI MANDAYA DIPERINTAHKAN BIKIN PESANTREN
            Setelah beberapa tahun Syekh Astari mesantren di Syekh Jaliman, tibalah saat Syekh Astari untuk meninggalkan pesantren Bunar. Yaitu saat Syekh Jaliman memerintahkan Syekh Nawawi untuk pulang ke Mandaya dan mendirikan pesantren. Selain memerintahkan Syekh nawawi pulang dan mendirikan pesantren, Syekh Jaliman juga memerintahkan delapan sahabat untuk mengikuti Syekh Nawawi dan mengaji kepadanya. Walaupun sebenarnya Syekh astari masih merasa betah tinggal di Bunar mengaji dengan Syekh jaliman, tetapi karena ini perintah guru, syekh Astari tak pernah bertanya mengapa ia langsung sam’an watoatan mentaati perintah gurunya. Dalam dunia pesantren diajarkan ketaatan murid kepada guru adalah ibarat mayit ditangan gosil (orang yang memandikan mayit).
Ketaatan murid kepada guru adalah ketaatan dzohir dan batin. Jiwa raga seorang santri dihadapan kiayinya adalah jiwa raga kepasrahan yang sempurna. Keberkahan dan futuh dalam dunia pesantren adalah kunci kemanfaatan. Dan kunci kemanfaatan itu bisa diraih hanyalah dengan kepasrahan yang sempurna kepada guru. Bahkan bila kiayi memerintahkan muridnya untuk masuk ke dalam kobaran api yang menyala-nyala maka seorang santri al-shodiq tidak akan bertanya mengapa ia harus masuk ke dalam api tetapi ia akan langsung memasuki api itu dan tak akan bertanya mengapa.
Demikianlah jiwa raga  syekh astari telah dipasrahkan seluruhnya tanpa tersisa kepada Syekh jaliman. Ketika Syekh Jaliman memerintahkan untuk mengikuti Syekh Nawawi ke mandaya, syekh Astari dan tujuh sahabat lainnya taat.
Akhirnya pengelanaan syekh astari dalam dunia ilmiyah sampai di Mandaya. Orang yang dulu adalah teman sekobong, kini menjadi guru. Walaupun ia berguru kepada teman mesantren, tetapi ketaatan dan hormat Syekh Astari kepada Syekh Nawawi tidak berkurang. Dulu ia memasrahkan jiwa raganya kepada syekh jaliman, kini ia memasrahkan jiwa raganya kepada Syekh Nawawi mandaya.

SYEKH ASTARI DAN SYEKH MUSTAYA BINUANG
            Seperti dikisahkan sebelumnya, bahwa Syekh Astari satu qurun dengan delapan sahabat yang kemudian menjadi ulama besar. Di antara delapan sahabat itu adalah syekh Mustaya Binuang. Ia adalah teman Syekh Astari sejak di pesantren Bunar asuhan Syekh jaliman. Kemudian keduanya menjadi murid dari Syekh Nawawi Mandaya yang juga adalah satu pesantren ketika di pesantren Bunar.
            KH. Maujud bin Syekh Astari mengkisahkan pertemuannya dengan Syekh Mustaya untuk pertama kalinya. Ketika itu KH. Maujud masih mesantren di KH. Suhaimi Sasak.
            KH. Maujud datang ke Binuang bersama seorang temannya untuk bersilaturahmi dan memohon do’a. ia melihat Syekh mustaya sedang duduk dengan mata ke langit-langit rumah. KH. Maujud mengucapkan salam. Tapi Syekh Mustaya masih diam terpaku dengan mata masih menatap kosong ke langit-langit. Terpaksa KH. Maujud dan temannya duduk tanpa dipersilahkan setelah mencium tangan Sang syekh. Lama terjadi keheningan di antara mereka.
            Setelah beberapa saat terdiam KH maujud kikuk melihat Syekh Mustaya tetap terdiam, akhirnya ia mengawali pembicaraan: “Yai, saya kesini mau memohon do’a”. mendengar KH Maujud berkata demikian Syekh Mustaya menggebrak meja sambil mengatakan: “Kamu juga kan bisa berdo’a, ngapain minta-minta doa.pada saya, Abahmu Syekh astari itu mesantrennya bareng ama saya”. KH maujud dan temannya kaget karena gebrakan meja itu, dan heran karena Syekh Mustaya mengetahui bahwa ia adalah putra Syekh Astari padahal ia belum pernah silaturahmi kepada Syekh mustaya. Pertemuan itu adalah pertemuan pertama.
            Syekh Mustaya adalah kiayi yang kharismatik dan penuh karomah. Selain mengajar santri ia juga sering berceramah di berbagai tempat. Zaman itu masih banyak masyarakat yang bila mengadakan hajat menanggap ubrug, jaipong, golek dan kemaksiatan lain. Tak jarang waktunya berbarengan dengan ceramah Syekh mustaya. Para jawara telenges sering merasa gerah dengan adanya ceramah syekh Mustaya yang sering menyinggung orang menanggap jaipongan dan sebagainya. Akhirnya para jawara mengadakan berbagai macam upaya untuk menggagalkan ceramah Syekh Mustaya.
            Di suatu ceramah tiba-tiba speker yang dipakai Syekh mustaya ceramah mati karena kabelnya ada yang memotong. Akhirnya Syekh Mustaya mengambil sandalnya untuk dijadikan sebagai mix, akhirnya suara Syekh mustaya menggema di loudspeaker seperti menggunakan mix sungguhan.
            Dilain acara ceramah yang barungan dengan tanggapan ubrug, syekh Mustaya menggerakan teko yang berisi kopi kepada para hadirin dari kejauhan. Teko ini menuangkan kopi kepada para hadirin satu persatu tanpa ada orang yang memegangnya. Sehingga orang-orang yang semula menonton ubrug jadi penasaran untuk menghadiri ceramah Syekh Mustaya.
            Kembali kepada kisah kunjungan KH. Maujud kepada Syekh mustaya.
            Syekh Mustaya menceritakan kepada KH. Maujud kisah tentang waktu ia dipesantren bersama Syekh Astari. Menurut Syekh Mustaya, Syekh astari adalah sosok yang sukar dicari tandingnya akan akhlak dan lain sebagainya.
            Syekh astari adalah orang yang mempunyai akhlak yang sangat sempurna ketika di pesantren. Ketawaduannya kepada teman tidak ada bandingnya. Setiap mengaji di hadapan guru ia selalu datang sebelum guru datang. Dan di dalam pengajian ia duduk bersama teman ketika berdesakan selalu menaikan paha temannya di atas pahanya. Ia hanya mau memberi tak mengharap diberi. Ia hanya mau memangku tak berharap di pangku. Ia hanya mau membahagiakan tak mengharap balasan.
            Teman yang sering di sandinginya adalah syekh Mustaya, maka Syekh Mustayalah yang sering pahanya ditumpangkan di atas paha Syekh astari. Suatu ketika ketika Syekh Astari tidak ada Syekh Nawawi mengatakan kepada seluruh para santri bahwa ia melihat cahaya terang dari wajah Astari dan menganjurkan kepada para santri untuk tidak berbuat yang kurang baik kepada Syekh Astari.
            Ketika mendengar penuturan Syekh Nawawi itu, syekh Mustaya tidak mau lagi menumpangkan pahanya di atas paha Syekh Astari walaupun Syekh Astari memaksa. Tapi tetap saja sepanjang pengajian keduanya hanya sibuk menumpangkan paha temannya kepada yang lainnya. Sehingga Syekh Mustaya akhirnya mengalah.
            Ketika tiba giliran mengaji berikutnya, Syekh Mustaya sengaja datang terlambat agar bisa menjauhi syekh astari. Ia tahu pasti syekh Astari akan masuk majlis sebelum syekh Nawawi datang. Setelah ia memastikan syekh Astari duduk di majlis, barula ia masuk majlis dan sengaja ia duduk jauh dari tempat Syekh astari. Ketika Syekh mustaya sedang asik mengaji betapa kagetnya ia karena Syekh Astari telah berada di sampingnya dan telah menumpangkan paha syekh Mustaya di atas pahanya sendiri.
            Syekh Mustaya menceritakan bahwa Sekh Astari hanya mempunyai satu pakaian untuk dikenakan. Bukan karena ia tak punya. Keluarganya adalah keluarga yang berkecukupan. Tapi karena bila ia mempunyai dua baju atau lebih, maka ia akan segera memberikannya kepada orang lain. Ia hanya mau mempunyai baju satu saja yaitu yang menempel di badannya. Ketika satu baju ini di cuci ia berendam di dalam air sampai bajunya kering.
            Begitu juga bila ia pulang dari rumah membawa beras, lauk pauk dan sebagainya maka sesampainya di pesantren semua beras dan yang lainnya ia bagikan kepad teman-temannya. Sementara ia melalui hari-hari berikutnya dengan kepasrahan kepada Allah Swt.

SEMBILAN SAHABAT BERPISAH
            Setelah beberapa tahun mendapat bimbingan dari Syekh Nawawi Mandaya, akhirnya Syekh Nawawi mempersilahkan delapan orang ini untuk pulang ke kampungnya masing-masing guna mengamalkan ilmu di masyarakat. Sebelum pulang delapan sahabat ini bersepakat untuk membantu pembangunan rumah Syekh Nawawi yang kebetulan baru saja bersiap-siap akan membangun rumah. Kebetulan mereka selain sebagai santri juga cakap dalam pertukangan.
            Syekh mustaya menceritakan bahwa Syekh astari yang berbadan kurus sangat cekatan dalam mengerjakan apapun. Apalagi ketika sampai mengerjakan bagian kuda-kuda di atas. Tubuh Syekh astari begitu lentur bergelayutan untuk mengerjakan pekerjaan tertentu. Syekh Mustaya rupanya agak takut ketinggian. Ia ingin membantu syekh Astari di atas tapi ia takut ketinggian. Rupanya Syekh Astari mengetahui gerentes hati Syekh mustaya, akhirnya ia mengulurkan tangan kepada Syekh Mustaya untuk ikut naik. Mulanya Syekh Mustaya ragu-ragu. Tapi akhirnya Syekh Mustaya menyambut tangan Syekh Astari dan aneh ketika tangan syekh mustaya menyentuh tangan Syekh astari, seluruh rasa takut itu hilang.
            Rumah itupun setelah beberapa hari hamper rampung kecuali ketika hendak membikin undak paling atas. Delapan sahabat ini berbeda pendapat. Ada yang mengusulkan begini, ada yang begitu. Akhirnya syekh Nawawi turun tangan sendiri untuk menentukan model yang ia inginkan.
            Kejadian undak itu adalah isyarat bahwa sejadug-jadugnya murid tetap saja ujung penyelesaiannya adalah sang guru. Setelah rumah selesai dibangun, Syekh nawawi memerintahkan delapan sahabat ini untuk bertahannus selama empatpuluh hari empatpuluh malam di payon rumah barunya itu.
            Setelah selesai bertahannus, delapan sahabat ini dipersilahkan pulang kembali ke kampungnya masing-masing untuk mengamalkan ilmu di tengah masyarakat. Akhirnya setelah sekian tahun bersama mulai dari pesantren Bunar asuhan syekh jaliman sampai di Mandaya kesembilan sahabat ini berpisah.

KEHAUSAN ILMU
            Setelah pulang dari Mandaya, Syekh Astari pulang ke cakung. Sesuai amanat gurunya ia mengamalkan ilmu semampunya di tengah masyarakat cakung. Umurnya waktu itu sekitar tigapuluhan. Tidak ada riwayat yang jelas apakah ketika itu ia sudah menikah ataukah belum. Pada zaman dahulu sudah lazim santri yang telah layak menikah mempunyai isteri di sekitar tempat ia mesantren sambil terus mengaji.
            Walaupun telah diam di Cakung, syekh Astari tidak menghentikan kehausannya akan ilmu agama. Kadangkala ia ke luar cakung untuk mengaji pasaran. Tercatat Syekh astari kemudian mesantren kepada Syekh Piyan di Laes. Juga kepada Syekh Misbah dan syekh Toyib di Koper. Termasuk kepada Ki romli di Cideng Kresek. Juga kepada beberapa kiayi yang lain.
            Sekitar tahun 1920 Syekh astari mendirikan pesantren di cakung. Berdatanganlah para murid dari berbagai daerah.Syekh astari menekuni pesantren sampai kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945.

SEMANGAT SYEKH ASTARI UNTUK INDONESIA MERDEKA
 Di masa perang, Syekh Astari gigih memberikan semangat kepada para pejuang untuk siap berperang merebut kemerdekaan. Ki Busyro mengisahkan bila saatnya tiba para tentara berperang, maka Syekh Astari mempersiapkan gentong yang berisi air kemudian para tentara itu satu persatu diberi minum dan di mandikan oleh Syekh astari agar hatinya bersih dan penuh keikhlasan dalam berperang. Selain itu untuk menambah keberanian tentara. Karena sebagian dari keistimewaan putra-putra Banten adalah memiliki bakat keberanian yang turun temurun. Air yang diberikan syekh astari itu hanya menambah dan mengasah keberanian yang telah melekat ada di dada putra Banten. Takut, adalah kata yang tak diajarkan bagi putra Banten sejati. Keberanian adalah jiwa, dan akhlak adalah hiasanya.
Sebelum kemerdekaan, Sukarno mendatangi Syekh astari untuk bersilaturahmi dan memusyawarahkan bagaimana supaya Indonesia cepat merdeka. Ketika itu Syekh Astari sedang bikin sebuah sumur, Sukarno pun ikut bersama syekh astari memperhatikan para tukang penggali sumur. Sukarno memang sering berziarah ke Cakung sejak muda. Disela-sela kesibukannya menggalang para pejuang kemerdekaan, Sukarno menyempatkan waktunya untuk memenuhi hasrat batinnya berziarah ke para wali termasuk kepada para wali di Cakung.
Ki Hamzah dari Talaga cisoka mengisahkan bagaimana pertemuannya dengan syekh Astari di serang. Syekh astari menyatakan Indonesia bisa merebut kemerdekaan dengan perjuangan dan do’a. Syekh Astari menyarankan kepada orang-orang yang mampu untuk pergi haji ke Makkah dan berdo’a di hadapan ka’bah untuk kemerdekaan Indonesia.
Ketika Ki Hamzah hendak mesantren ke Rangkas Bitung bersama sekitar lima orang temannya melalui stasiun tenjo, ia bertemu dengan dua orang yang berpakaian rapi. Kedua orang itu bertanya “mau kemana, dik?”. Ki Hamzah dan teman-temannya menjawab “Kami mau mesantren di rangkas Bitung dengan kreta, pak”. “O, kebetulan Kami juga mau ke Rangkas, biarlah adik semua bareng dengan Kami saja!”. Tanpa menolak Ki hamzah dan teman-teman menuruti ajakan dua orang tersebut. Mereka satu gerbong dengan keduanya. Semua ongkos Ki Hamzah dan teman-teman di tanggung keduanya, bahkan seluruh penumpang di gerbong itu biayanya ditanggung mereka berdua. 
Rupanya tanpa disangka, tujuan Ki Hamzah dan teman-teman sama dengan kedua orang yang berpakaian rapih itu, yaitu pesantren di daerah rangkas. Setelah tiba di pesantern itu, rupanya di pesantern itu sedang ada acara pertemuan akbar. kedua orang ini memang sedang ditunggu. Ki Hamzah dan teman-teman heran, siapakah kedua orang yang bersama mereka di kreta itu. Mengapa mereka berdua begitu ditunggu dan dielu-elukan. Ketika memasuki pintu gerbang ada orang berseru “Selamat datang kepada IR. Sukarno pejuang kemerdekaan Indonesia”!.barulah Ki Hamzah dan teman-teman tahu bahwa orang yang bersamanya adalah Ir. Sukarno seorang pemuda yang selama ini menjadi buah bibir anak bangsa akan kesemangatnya memperjuangkan Indonesia merdeka. Dalam pidatonya Ir. Sukarno mengatakan Indonesia harus merdeka pada tanggal 17 agustus 1945.
Setelah beberapa tahun mesantren di Rangkas, ketika Ki Hamzah telah berada di Cisoka. KH. Ahmad Khatib pidato di cisoka bahwa Indonesia akan merdeka pada tanggal 17 agustus 1945, sama dengan pidato Ir. Sikarno di Rangkas.
Kemudian Ki Hamzah pergi Ke Makkah Al Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji ia bertemu dengan Syekh Astari cakung di rumah Syekh Nawawi di Syib Ali. Kemudian mereka berdo’a di depan ka’bah untuk kemerdekaan Indonesia.
Dalam kisahnya Ki Hamzah meriwayatkan bahwa selain bertemu dengan Syekh Astari ia juga bertemu dengan Syekh Nawawi Tanara.dan Syekh hasan bashri. Padahal Syekh Nawawi Tanara dan Syekh Hasan Bashri telah wafat ketika itu. Apalagi syekh hasan Bashri telah wafat sekitar tigaratus tahun. Pertemua dengan para ulama yang wafat adalah hal yang lumrah dalam dunia pesantren. Karena orang-orang mulia itu sebenarnya tidak mati.
Menurut Ki Hamzah, setelah berdo’a bersama Syekh astari, Syekh Hasan Bashri dan Syekh Nawawi, Syekh Hasan Bashri Cakung mengatakan “Kalau sudah berdoa semuanya harus segera pulang ke Jawa untuk mengawal kemerdekaan Indonesia!”. Akhirnya semuanya sepakat untuk segera pulang, namun kapal yang mengangkut mereka tidak ada. Kemudian Syekh Hasan bashri bertanya “siapa yang bisa menyiapkan kapal?. Kemudian Syekh Hasan Bombay mengatakan saya siap menyiapkan lima kapal” kata Syekh Hasan bahsri “ kalau Cuma lima masih kurang, siapa lagi yang bisa menyiapkan sisanya?” kemudian ada seorang janda kaya namanya Nyi ratu Juriah yang sanggup menyiapkan tiga kapal. Akhirnya mereka dan para orang-orang Banten dan nusantara yang berada di makkah pulang ke Indonesia.
Akhirnya sampailah rombongan kapal dari makkah ini di Tanjung Priuk. Kemudian Ki Hamzah pulang ke Cisoka. Di sepanjang jalan dari tangerang sampai Cisoka dia melihat rombongan bebek yang digiring orang. Panjangnya iringan bebek ini tidak putus-putus sampai Cengkudu. Menurut Ki Hamzah ini pertanda bahwa belanda pergi dari Indonesia dengan hina seperti bebek-bebek itu.


LEBUR BERSAMA TUHAN
Setelah kemerdekaan Indonesia Syekh Astari di sapa Tuhan dengan cintanya. Ia majdzub terserat cahaya rabbani. Yaitu keadaan di mana seorang hamba lebur membaur bersama kasih sayang tuhan atau dalam dunia sufi di sebut fana fillah. Keadaan di mana dunia beserta segala isinya tiadalah menarik hatinya kecuali hanya mengharap cinta dan keridoannya. Keadaan di mana hati ini sudah tiada memperdulikan lagi segala apa pendapat makhluk kepadanya kecuali hanya pandangan Allah.
Keadaan di mana asa dan rasa telah terbakar hangus oleh api cinta yang membara kepada Allah. Hakikat terasa begitu Nampak tak berselimut gerhana basyariyah. Yang ada hanya Tuhan, tiada yang lain lagi. Hati terasa begitu ringan tanpa beban. Bersinar sejuk putih mempesona tiada tara. Tiada lagi hiqid terselip. Tiada lagi luka akibat benci. Tiada noda hasad. Berkemilau bagai berlian. Dan anggun bagai mutiara tanah Lombok.
Demikianlah jalan hidup Syekh astari. Allah memilihnya untuk menjadi bagian dari kekasihNya, wali-Nya yang menjadi oase bagi hamba-hambaNya di tengah gersangnya kehidupan rohani.
Syekh astari kemudian mewaqafkan hidupnya hanya untuk kebahagiaan sesame. Ia berkeliling membangun masjid-masjid dan majlis taklim. Ia buka jalan-jalan baru untuk dapat dilalui manusia. Ia membuat irigasi untuk pemandian masarakat dan pertanian. Ia buat danau-danau kecil di depan masjid dan di tengah perkampungan.
KELUARGA SYEKH ASTARI
            Syekh Astari menikah beberapa kali. Di cakung beliau menikah dengan Nyi Aisah mempunyai anak satu yaitu Ratu Asiroh. Kemudian menikah dengan putri Ki Misbah Koper mempunyai anak Syekh Bakri. Dengan Nyi Dewi mempunyai anak Muhammad Gaosul alam. Dengan Nyi Sabnah Koja mempunyai anak 5 yaitu: Muhammad nawawi, Nyi suaroh, Maulana Yaudin (Badong), KH. Maujud dan Anwar Kamil.



RIWAYAT-RIWAYAT TENTANG SYEKH ASTARI
            Kehidupan yang indah. Itulah kesimpulan bila kita mengenang tokoh syekh Astari cakung. Ketika masa hidup beliau setiap hari Kampung cakung ramai oleh para peziarah yang ingin memohon do’a dan keberkahan dalam kehidupan mereka. Mulai dari petani, pedagang, nelayan, pejabat tinggi sampai rendahan, anak-anak semuanya ingin bertemu dengan syekh astari dan memohon petunjuk akan masalah yang merek hadapi.
            Setiap orang yang pernah berkunjung kepada beliau mendapatkan kesan yang begitu dalam. Bahkan tak jarang mereka mendapatkan hal-hal gaib dan aneh yang berada di luar aqal. Bisa dikatakan Syekh astari adalah Wali yang banyak Allah dzahirkan keramatnya kepada manusia pada zamanya. Buku kecil ini bukanlah buku penelitian juga bukan buku pencakup seluruh keramat-keramatnya karena waktu yang tidak cukup untuk mendatangi para orang-orang yang memiliki kisah-kisah indah bersama Syekh astari. Buku kecil ini hanyalah setetes embun dari segara kisah tentang beliau.
            Penulis akan memberikan beberapa kisah tentang syekh astari yang penulis dapatkan dari orang-orang yang berada di lingkungan penulis saja.
            Ustad Karman dari talok menyebutkan ada seorang pedagang minyak wangi dari Balaraja mengaku selalu berdagang sepi dan rugi. Suatu ketika minyak wanginya ini di ambil tanpa permisi oleh Syekh Astari. Sang pedagang ini membiarkan saja. Lalu Syekh Astari menyemprotkan minyak wangi itu kepada orang-orang yang ditemuainya. Setelah kejadian itu, dagangannya menjadi laris dan maju.
            Ia juga meriwayatkan, ada dua orang dari bekasi meminta Ki Karsam (mertuanya) untuk mengantar mereka ke Syekh astari. Setelah sampai rumah beliau, beliau berkata sambil menghadap kiblat “ada orang yang ditunggu kuburan tigahari lagi!” singkat cerita, dua orang dari bekasi ini pulang. Kebetulan tujuan ke rumah mereka melewati kali, dan harus naik perahu bila mau samapai. Ternyata perahu ini terbalik dan salah seorang di antara mereka meninggal tepat di hari yang ketiga seperti yang dikatakan Syekh Astari.
            Ia juga meriwayatkan pertemuan pertamanya dengan syekh astari. Setelah sampai di hadapan syekh Astari, beliau berkata: “Alhamdulillah, saya kedatangan tamu dari Petir, Rembang dan Cianjur”. Ustad Karman kaget, nama-nama daerah yang disebutkan syekh astari itu adalah nama-nama tempat ia mesantren padahal ia belum pernah bercerita di mana ia dulu mesantren.
            ia juga mengkisahkan tentang rencana kondangan H. Abdul ghani dan rombongan ke Petir. Karena mobil sudah penuh akhirnya Syekh astari yang berencana ikut di tinggal karena tempat yang kosong hanya di belakang. Menurut H. Abdul Gani tidak pantas syekh Astari duduk di belakang sedangkan di depan juga sudah ada kiayi lain yang sudah duduk. Kebetulan syekh Astari belum datang. Akhirnya mobil ini berangkat tanpa Syekh astari. Sampai renged tepatnya di ki buyut Ketul mobil ini mogok. Para mekanik berusaha menservis mobil ini agar jalan, tetap saja mobil ini mogok. Akhirnya setelah lama barulah H. abdul ghani ingat bahwa ia telah meninggalkan Syekh astari, akhirnya Syekh astari disusul. Setelah Syekh Astari duduk, mobil ini langsung menyala setelah di engkol.
            Mang Udin dari cakung menyebutkan, dulu ia adalah seorang supir. Ketika ia mau berangkat ke Jakarta di kandaggede ia diberhentikan oleh syekh Astari dan memintanya untuk mengantarkan ke Koja-Bolang. Dia mengatakan tidak bisa karena sedang buru-buru berangkat ke Jakarta. Secara tiba-tiba mobilnya mogok. Orang-orang yang ada di sekitar jalan membantu mang udin mendorong mobil, tapi tetap mogok. Akhirnya mang udin mempersilahkan Syekh astari duduk dalam mobil. Kemudian mobil didorong lagi dan langsung menyala.
            Mang Buang mengkisahkan, di Pesantren syekh astari ada sebuah pohon kelapa tumbang. Para santri berusaha mengangkatnya. Karena kelapa ini besar mereka tidak kuat. Pada waktu malam kemudian Syekh Astari keluar dari rumah. Mang buang memperhatikan kemana Syekh astari malam-malam begini mengenakan kaos dan celana komprang. Ternyata ia mendekati pohon kelapa yang tumbang itu. Kemudian Syekh astari mendekatkan jempol kakinya ke pohon kelapa itu. Dan kemudian menjungkitkan jempol kakinya. Subhanallah hanya dengan menjungkitkan jempol kakinya akhirnya pohon kelapa ini terangkat sampai ketempat pembuangan.
ILMU LADUNI SYEKH ASTARI
            KH. Maujud bin Syekh Astari semasa hidup ayahnya diijahkan ilmu laduni. Sekarang beliau berkenan mengijajahkan ilmu itu untuk di amalkan oleh kaum muslimin dan muslimat.
            KH. Maujud berkata:
            “agar semua orang seneng belajar mengaji, kami senang sekali kalau wiridan ini diamalkan oleh kaum muslimin dan muslimat agar mendapatkan rido dari Allah swt. Saya ikhlas dan ridlo mengijajahkan wirid ini kepada muslimin dan muslimat”.
            Wiridan itu seperti di bawah ini:
اللهما زدنى علما نافعا لدنيا وفهما واسعا يا كاشف المشكلات و يا عالم السر والخفية اكشف عنى وجوه هذه المعانى حتى اطلع الى حقيقة المسائل واحفظنى انت الموفق لأمرى وانت علام الغيوب يا الله 3×, با فتاح 3× ... يا عليم 3× ... اللهما علمنى من لدنك علما مخزونا

            Lafadz terahir Allahuma allimni ilman makhzuna dibaca sebanyak-banyaknya.
           

UANG BARU SYEKH ASTARI
            Semasa hidup Syekh Astari beliau sering membikin coretan dikertas untuk para tamu yang mendatangi beliau. Beliau menyebut coretan kertas ini dengan uang baru. Di dalamnya terdapat coretan berupa hurup-hurup dan angka-angka serta beberapa kalimat.
            Setelah wafatnya beliau uang baru ini banyak dicari orang. Beberapa keramat uang baru ini dirasakan oleh masyarakat karena uang baru ini di tulis oleh seorang waliyullah.
            Ketika penulis berangkat haji banyak para jamaah yang memfoto copy uang baru Syekh Astari ini untuk diletakan dalam koper haji. Kata penulis kepada mereka walaupun memang uang baru ini diberikan keramat oleh Allah, tapi kalau hanya fotocopy mungkin tidak akan manjur.
            Setelah sampai bandara Jeddah, semua koper para jamaah yang ada fotocopy uang baru Syekh astari ini selamat tidak mendapat pemeriksaan dari petugas bandara, sedangkan koper penulis sampai dua kali dibongkar.

WAFATNYA SYEKH ASTARI BIN MAULANA ISHAQ
            Setelah perjalanan yang cukup panjang dalam kehidupan yang penuh keindahan, Syekh Astari bin Maulana Ishaq kembali ke hadirat Al Rafiiq Al-a’la pada hari jum’at jam 05 subuh  taggal 28 Dzulqo’dah berbarengan dengan 24 juli tahun 1987 dalam usia 99 tahun.
            Sebelum meninggal KH. Maujud pada jam 04 subuh bertanya kepada  Syekh Astari dalam bahasa jawa: “Bah, isun ayun diwasiati napa?” (Ayah, saya mau diwasiati apa?). kemudian syekh astari mengatakan:”Siramah kan wis diwasiati nang abah sing dinginkah!” (Kamu kan sudah Ayah wasiati yang dulu itu). KH Maujud berusaha mengingat-ingat apa yang pernah Syekh astari wasiatkan. Akhirnya Syekh Astari mengingatkan bahwa yang ia wasiatkan adalah ayat:
فإن الله لغني عن العالمين
Dibaca sebelas kali setiap setelah solat lima waktu.

Letakkan notis atau link anda disini

(X)